Sulit untuk menampik bahwa ‘Fifty Shades
of Grey’ merupakan sebuah erotic romantic drama film yang terasa
medioker meskipun ia berhasil meraup $571 juta, lebih dari sepuluh kali
lipat dari budget yang ia punya. Hingga ketika review ini ditulis
penerusnya, ‘Fifty Shades Darker’ ternyata telah menjadi “follow-up”
yang baik bagi ‘Fifty Shades of Grey’ di box office, namun pertanyaannya
adalah bagaimana dengan kualitas yang ia punya? Apakah saga berisikan
jeratan asmara di antara Mister Grey dan Anastasia yang dipenuhi BDSM
itu berkembang ke arah yang lebih baik ketimbang kontes saling bertatap
mata di antara dua jiwa yang “rusak” untuk kemudian diselesaikan dengan
having sex?
Hubungan asmara di antara Anastasia Steele (Dakota Johnson) dan
Christian Grey (Jamie Dornan) kandas dan Ana memutuskan untuk move on
dengan mencoba bekerja sebagai asisten bagi Jack Hyde (Eric Johnson),
pria yang menaruh rasa tertarik pada Ana. Tapi di sisi lain Christian
ternyata masih “memantau” Ana. Christian ingin membangun kembali
hubungannya dengan Ana, kali ini ia menginginkan sebuah “real
relationship” bukan sekedar hubungan kontrak. Christian mencoba
memperkenalkan Jack kepada Elena Lincoln (Kim Basinger) namun itu tidak
serta merta mempermudah usaha Christian tadi karena dirinya masih
kesulitan mengatasi tekanan dari hasrat untuk kembali “mengontrol” Ana.
Sinopsis di atas sebenarnya sudah cukup oke untuk mewakili apa yang
akan terjadi selanjutnya di film yang ternyata masih sama seperti film
pertamanya. Wajar memang karena formula film pertama terbukti berhasil
mencetak kesuksesan finansial yang cukup oke, so mengapa mencoba
melakukan perombakan secara besar-besaran? Di sini kamu akan dibawa
bertemu dengan something yang lebih kompleks, sama seperti judulnya ini
lebih darker dengan menaruh fokus pada mental dan kisah masa lalu yang
pernah dialami oleh karakter. Sebenarnya itu tampak menjanjikan karena
dengan demikian kita mungkin bisa melihat “makna” cinta itu sendiri di
dalam usaha Christian untuk dapat kembali menjalin hubungan cinta dengan
Ana, sesuatu yang absen di film pertama yang dua tahun lalu kita sebut
sebagai “a softcore porn version of Cinderella, like a foreplay without
climax.”
Sayangnya ekspektasi tersebut kembali tidak tercapai di film ini.
Potensi untuk menghadirkan kadar emosi yang sedikit lebih kompleks
dengan fakta bahwa Christian sedang “terluka” sepertinya bukan sesuatu
yang menarik bagi Niall Leonard sebagai penulis naskah dan juga James
Foley sebagai sutradara. Di sini Christian Grey masih merupakan pria
yang “haus” dengan hasrat yang tinggi tapi kehadiran karakter seperti
John dan juga Elena sebenarnya bisa menciptakan “gesekan” untuk membuat
petualangannya bersama Ana menjadi lebih challenging. Christian sedang
berusaha untuk menemukan “true love” yang ia yakin ada pada Ana tapi
perjuangan yang ia lakukan di sini justru tidak berhasil mendorong
“makna” yang dimiliki oleh cinta menjadi lebih meaningful ketimbang film
pertama, addiction pada sadism, membutuhkan tubuh dan vagina, lalu
“menyelesaikan” hasratnya tersebut dengan seks.
Film ini tidak hanya membuat Christian Grey yang tampak seperti
“ideal boyfriend” di film pertama berubah menjadi puppy saja tapi juga
tidak berhasil melepaskan Ana dari status sebagai “objek” untuk
dieksploitasi seperti di film pertama. Script dan pengarahan sutradara
kurang berhasil membawa cerita dan karakterisasi dari karakter tumbuh
menjadi lebih baik, menjadi something yang membuat penonton semakin
peduli pada mereka. Ada momen yang berhasil connect bersama penonton di
sini tapi momen disconnect juga terhitung banyak, itu mayoritas berasal
dari kesan “unmotivated” dari cerita dan karakter karena sama seperti
film pertama cerita dan karakter tidak mendapat kesempatan yang besar
untuk berkembang.
And in the end, it’s all about sex, Christian “mencoba”, Ana
“menyambut” dengan tangan terbuka, percakapan yang lebih berisi bersama
emosi bukan sesuatu yang menarik dan kemudian berlanjut ke having sex.
Satu hal yang mungkin dapat dikatakan baik dari film ini adalah ia
berhasil menunjukkan bahaya yang akan terjadi ketika seseorang memiliki
ide yang “kabur” antara hasrat dan makna dari cinta. Untuk hal tersebut
‘Fifty Shades Darker’ terasa oke walaupun tidak terasa memorable ataupun
menonjol. Itu juga terjadi pada performa dari karakter, jika di film
pertama terdapat begitu banyak momen yang dapat dikatakan terasa “spicy”
terutama ketika berurusan dengan hasrat dan seks di sini mayoritas
terasa terlalu biasa. Chemistry antara Jamie Dornan dan Dakota Johnson
terasa lebih oke ketimbang di film pertama tapi plot kembali membawa
mereka ke dalam “lingkaran” yang sama dan hasilnya tidak ada dramatic
tension yang kuat di antara Christian dan Ana.
‘Fifty Shades Darker’ sebenarnya berusaha membawa saga ini menjadi
lebih menarik seperti mencoba tampil lebih kompleks misalnya tapi
sayangnya tidak diolah secara maksimal. Ini seperti sebuah cerita yang
punya ambisi tapi kurang bergairah untuk meraih ambisi tersebut,
Christian kembali menginginkan Ana, Ana menerima bahkan juga ingin tahu
lebih banyak karena merasa kali ini Christian genuinely loves her, but
in the end the same thing happen again di mana issue “diselesaikan”
dengan mudah. ‘Fifty Shades Darker’ membuat hubungan di antara Christian
dan Ana menjadi semakin rumit tapi celakanya not in meaningful way, dan
‘Fifty Shades Freed’ needs a really good therapist untuk membantu agar
ia dapat menjadi kelanjutan yang lebih baik ketimbang pendahulunya.
Segmented.
sumber ; rorypnm.com
link download
subtittle indonesia
No comments:
Post a Comment