Setelah Godzilla (Gareth Edwards, 2014),
rumah produksi Legendary Pictures melanjutkan ambisinya dalam membangun
MonsterVerse dengan Kong: Skull Island. Film yang diarahkan oleh Jordan
Vogt-Roberts (The Kings of Summer, 2013) ini merupakan reboot dari seri
film King Kong yang pertama kali diproduksi Hollywood pada tahun 1933
dan sempat memiliki sejumlah sekuel sekaligus diulangbuat beberapa kali.
Pengisahan Kong: Skull Island sendiri memiliki perspektif yang berbeda
jika dibandingkan dengan film-film dalam seri King Kong sebelumnya –
meskipun masih tetap menghadirkan beberapa tribut terhadap alur kisah
klasik King Kong dalam beberapa adegan maupun konfliknya. Namun, tidak
seperti Godzilla garapan Edwards yang cukup mampu membagi porsi
penceritaan antara karakter-karakter manusia dengan monster-monster yang
dihadirkan, Kong: Skull Island justru terasa lebih menginginkan agar
penonton berfokus penuh pada karakter Kong dan kehidupan yang berada di
sekitarnya. Sebuah pilihan yang kemudian membuat karakter-karakter
manusia dalam jalan penceritaan film ini menjadi sama sekali tidak
berguna kehadirannya.
Dengan naskah cerita yang digarap bersama oleh Dan Gilroy
(Nightcrawler, 2014), Max Borenstein (Godzilla, 2014) dan Derek Connolly
(Jurassic Park, 2015), Kong: Skull Island yang memiliki latarbelakang
waktu pengisahan di tahun 1973 memulai pengisahannya ketika sekelompok
pasukan helikopter yang dipimpin Lieutenant Colonel Preston Packard
(Samuel L. Jackson) dan seorang mantan pasukan elit militer Inggris,
Captain James Conrad (Tom Hiddleston), dipekerjakan oleh agen pemerintah
Bill Randa (John Goodman) untuk mengawal ekspedisinya dalam memetakan
sebuah pulau asing di Samudera Pasifik yang selama ini dikenal sebagai
Skull Island. Perjalanan itu juga diikuti oleh jurnalis foto, Mason
Weaver (Brie Larson), yang mencurigai bahwa ekspedisi ilmu pengetahuan
tersebut hanyalah sebuah samaran bagi sebuah operasi militer rahasia
yang sedang dijalankan pemerintah. Setibanya di Skull Island, pasukan
helikopter yang dibawa Bill Randa mulai menjatuhkan rentetan bom yang
digunakan untuk mengetahui kondisi tanah di pulau tersebut. Tanpa
disangka, satu sosok makhluk raksasa penghuni Skull Island yang merasa
terganggu atas kedatangan kelompok tersebut lantas melakukan serangan
mematikan. Captain James Conrad dan kawanannya yang selamat dari
serangan pertama kini harus bertahan hidup di pulau tersebut sebelum
pasukan penyelamat datang tiha hari kemudian.
Kong, karakter kera berukuran raksasa yang digambarkan memiliki
tinggi 100 kaki, merupakan bagian terbaik dalam Kong: Skull Island.
Dengan sentuhan efek visual sekaligus dukungan penampilan motion capture
dari aktor Terry Notary yang memerankannya, kehadiran Kong tampil
sangat meyakinkan. Kong bahkan memiliki kepribadian yang jauh lebih
berwarna dari kebanyakan karakter manusia yang mengisi jalan cerita film
ini – sebuah pencapaian yang berhasil dilakukan melalui deskripsi
beberapa karakter manusia akan Kong maupun dengan tingkah laku yang
digambarkan dalam film ini, termasuk perhatian Kong pada karakter Mason
Weaver yang jelas merupakan sebuah tribut pada konflik klasik di film
King Kong terdahulu. Tidak hanya Kong, Kong: Skull Island juga diisi
dengan kehadiran karakter-karakter hewan berukuran raksasa lainnya yang
berhasil tergarap dengan baik sekaligus menjadi nyawa utama bagi film
ini. Adegan pertarungan antara Kong dengan Skull Crawler – seekor kadal
raksasa yang dikisahkan pernah membunuh keluarga Kong dan menjadi musuh
utama bagi para penghuni Skull Island – yang mengisi paruh akhir
penceritaan Kong: Skull Island menghadirkan puncak ketegangan maksimal
bagi jalan cerita film dan mampu tereksekusi dengan sangat baik.
Kualitas tata produksi Kong: Skull Island memang harus diakui berada
pada pencapaian yang sangat memuaskan. Mulai dari tata sinematografi
yang tampil memikat hingga desain produksi dari Skull Island yang akan
membawa setiap penontonnya ke atmosfer pulau terasing yang dapat
membahayakan kehidupan siapa saja yang coba melangkahkan kaki mereka
kesana. Tidak sepenuhnya berjalan lancar. Tata gambar film ini
seringkali merusak suasana penceritaan yang sebenarnya sedang terbangun
dengan penggantian fokus antar konflik maupun karakter yang seringkali
terasa tiba-tiba berubah dengan cepat. Usaha Vogt-Roberts untuk
memasukkan deretan lagu-lagu rock popular di tahun ‘70an ke dalam banyak
adegan film juga tidak terasa mengesankan. Tidak seperti Guardians of
the Galaxy (James Gunn, 2014) yang sukses menjadikan setiap lagu klasik
dalam adegan filmnya sebagai pendukung suasana pengisahan, deretan lagu
yang berada dalam jalinan kisah Kong: Skull Island tidak pernah terasa
lebih dari sekedar gimmick yang sia-sia belaka kehadirannya.
Oh. Dan, tentu saja, deretan karakter manusia yang mengisi jalan
cerita film ini. Naskah cerita Kong: Skull Island menghadirkan sangat
banyak karakter manusia namun tak satupun diantara karakter tersebut
yang memiliki pendalaman kisah yang cukup berarti. Kebanyakan diantara
mereka malah hanya dihadirkan sebagai korban keganasan raksasa-raksasa
penghuni Skull Island dengan deretan dialog yang cukup menggelikan.
Namun, beberapa karakter masih cukup mampu dihadirkan dengan
karakterisasi yang kuat. Karakter Hank Marlow yang diperankan oleh John
C. Reilly dan digambarkan sebagai sosok mantan anggota pasukan militer
Amerika Serikat yang telah terdampar di Skull Island selama 28 tahun
memiliki deretan kisah yang membuat karakternya begitu menarik. Begitu
pula dengan karakter Lieutenant Colonel Preston Packard yang diperankan
Jackson. Meskipun hadir terlalu terbatas, karakteristik antagonis dalam
perannya mampu diterjemahkan dengan baik. Dengan apa yang dihadirkan
Godzilla dan Kong: Skull Island, Legendary Pictures jelas memiliki
potensi besar dengan MonsterVerse mereka. Sayang, potensi tersebut masih
belum benar-benar terealisasi ataupun tereksekusi dengan baik untuk
dapat meyakinkan penonton luas bahwa setiap film dalam MonsterVerse akan
hadir dengan kualitas pengisahan yang prima.
sumber : amiratthemovies
link 1
link 3
No comments:
Post a Comment